Selasa, 30 April 2013

1 Mei



“Maka aku melihat Anak Domba itu membuka yang pertama dari ketujuh meterai itu,… Dan aku melihat: sesungguhnya, ADA SEEKOR KUDA PUTIH DAN ORANG YANG MENUNGGANGINYA MEMEGANG SEBUAH PANAH DAN KEPADANYA DIKARUNIAKAN SEBUAH MAHKOTA. LALU IA MAJU SEBAGAI PEMENANG UNTUK MEREBUT KEMENANGAN.” (Wahyu 6:1,2)

Siapakah penunggang kuda putih itu? Tampaknya simbol-simbol ini secara konsisten menunjuk ke arah yang sama. Yang pertama dan terpenting, warna kuda itu putih. Sepanjang  Kitab Wahyu, warna putih selalu merujuk pada Kristus dan umat-Nya. Hal yang sama berlaku untuk “makhota kemenangan” (stephanos) yang dipakai penunggang kuda putih itu.
Walaupun “mengalahkan” mungkin mencerminkan bahasa yang negatif, pada intinya itu merupakan istilah rohani di dalam Kitab Wahyu. Faktanya, hingga pasal 6, kata bahasa Yunani untuk mengalahkan selalu merujuk pada Kristus dan umat-Nya [“barangsiapa menang aku akan mengaruniakan…”]. Kata “mengalahkan” di dalam Wahyu merujuk pada kemenangan atas perkara-perkara rohani (Wahyu 5:5 ; 2:11). Oleh sebab itu, penunggang kuda putih melambangkan Injil Yesus Kristus, diawali dengan penobatan-Nya di surga (Wahyu 5) dan berlanjut hingga pada akhirnya. Meneruskan Injil sekarang adalah aktivitas umat Allah di dunia.
Saya tidak akan pernah melupakan bagaimana Injil itu datang kepada saya. Melayani sebagai pendeta, saya ingin menyenangkan Allah dan menjangkau orang-orang bagi Dia. Namun demikian, yang saya lakukan adalah sekadar mendapatkan kredit dari-Nya. Tidak ada jaminan bahwa kehidupan saya itu benar di hadapan-Nya.
Suatu hari saya berjalan menyusuri jalan setapak di hutan, membagikan Injil kepada seseorang. Dia menatap saya dengan penuh antusias.
“Dapatkah Allah menerima saya atas semua yang saya lakukan?”
“Oh, ya, ” kata saya dengan yakin, tetapi kelihatannya tidak demikian.
Berulang kali saya meyakinkan dia bahwa semua dosa bisa diampuni. Kami mengucapkan “doa para pendosa.”
Lalu dia menatap saya dan berkata, “Apakah menurut Anda, Allah benar-benar ada di sini?” Saya menjawab, “Tentu saja.” Tepat pada saat itu kilat menyambar, guruh menggelegar, dan hujan lebat membuat kami basah kuyup. Dia menatap saya dengan mata bersinar-sinar. “Aku dibaptis sekali lagi!” Dan saya bisa melihat bahwa Injil telah menjangkaunya. Tetapi ketika saya melihat kekuatan Injil di matanya, Allah juga menjamah saya untuk membiarkan diri saya menerima-Nya saat itu. Katanya, kilat tak pernah menyambar tempat yang sama dua kali, tetapi hari itu satu Injil telah menjangkau dua jiwa.

Tuhan, aku perlu tahu bahwa aku berjalan bersama-Mu hari ini. Sentuh hatiku dengan apapun juga yang perlu untuk dibenarkan, apapun yang perlu aku pahami. Aku ingin menjadi tahir di mata-Mu.

Senin, 29 April 2013

30 April



“Maka aku melihat Anak Domba itu membuka yang pertama dari ketujuh meterai itu,Dan aku melihat: sesungguhnya, ADA SEEKOR KUDA PUTIH DAN ORANG YANG MENUNGGANGINYA MEMEGANG SEBUAH PANAH DAN KEPADANYA DIKARUNIAKAN SEBUAH MAHKOTA. LALU IA MAJU SEBAGAI PEMENANG UNTUK MEREBUT KEMENANGAN.” (Wahyu 6:1,2)

Jelas bahwa Wahyu 6 dibangun berdasarkan latar dalam pasal 5. Anak Domba mengambil gulungan kitab dalam pasal 5 dan mulai membuka meterai-meterainya dalam pasal di atas. Namun timbul pertanyaan : Apakah meterai-meterai itu isi kitab tersebut? Penting menjawab pertanyaan ini untuk memahami pasal ini.
Jika kitab itu menyerupai gulungan, seperti penggiling adonan, meterai-meterai berada di bagian luar “kitab” dan harus dirusak sebelum seseorang bisa membaca kitab tersebut. Jika kitab itu menyerupai codex (seperti buku sekarang), dengan lembaran-lembran kertas dijilid pada satu sisinya, lalu merekatkan kitab menjadi tujuh bagian yang bisa dibuka pada satu waktu.
Walaupun bangsa Romawi menciptakan bentuk codex kurang lebih pada waktu penulisan Kitab Wahyu, bangsa Yahudi masih tetap menggunakan bentuk gulungan kitab hingga saat ini. Namun demikian, orang-orang Kristen, segera beralih pada bentuk yang baru. Dari sekitar seratus atau lebih manuskrip-manuskrip awal Perjanjian Baru (saat ini hanya ada dalam bentuk fragmen), hanya empat di antaranya berbentuk gulungan kitab.
Mengapa orang-orang Kristen beralih pada bentuk codex untuk Alkitab mereka? Mungkin disebabkan oleh keempat Injil. Orang-orang Kristen ingin memasukkan keempat-empatnya ke dalam dokumen yang sama. Sebuah gulungan kitab akan terlalu besar untuk ditangani, tetapi Anda bisa memasukkan keempat Injil  ke dalam satu codex dengan mudah. Jadi tidak lama setelah zaman Kitab Wahyu, orang-orang Kristen beralih ke bentuk codex.
Apakah kitab yang sedang dibuka meterainya ini dalam bentuk gulungan kitab ataukah codex? Yohanes tidak meninggalkan keragu-raguan. Dalam Wahyu 6:14 dia mengatakan : “Maka menyusutlah langit bagaikan gulungan kitab yang digulung.” Kata “menyusut” adalah kata yang sama dengan kata yang digunakan untuk gulungan kitab yang dimeterai dalam pasal 5. Oleh karena itu, gulungan kitab yang dimeterai itu jelas-jelas bukan sebuah codex. Dalam hal gulungan kitab, Anda harus membuka seluruh meterai-meterainya sebelum membaca isinya. Karena penulis menghubungkan peristiwa-peristiwa dalam Wahyu 6 dengan pembukaan materai, mereka tidak dapat menggambarkan isi gulungan kitab itu, tetapi hal-hal yang harus terjadi sebelum gulungan kitab itu dapat dibuka.

Tuhan, sungguh luar biasa dapat memahami kedalaman Firman-Mu dengan lebih baik. Bantu aku memercayai Engkau sekalipun aku tidak mengerti.

Minggu, 28 April 2013

29 April


“Maka aku melihat ANAK DOMBA ITU MEMBUKA YANG PERTAMA DARI KETUJUH METERAI ITU, dan aku mendengar yang pertama dari keempat makhluk itu berkata dengan suara bagaikan bunyi guruh: "Mari!"

Saya selalu beranggapan, ide bagus menyimpan uang tunai tambahan untuk keadaan darurat. Walaupun berbahaya menyimpan uang tunai dalam jumlah besar, karena mungkin akan mengundang pencuri, dengan itu kita mengambil resiko demi uang beberapa ratus dolar yang bisa didapat dengan mudah melalui pemberitahuan  singkat. Saya selalu menyimpan amplop di meja tulis saya, di lemari es, di laci meja rias, dan di beberapa tempat lain.
Suatu hari saya pulang ke rumah dari perjalanan yang cukup jauh, perlu mengisi kembali dompet saya agar dapat membayar beberapa tagihan yang telah menumpuk karena saya tidak berada di rumah. Saya pergi ke tempat saya menyimpan amplop dan mengeluarkannya. Ada yang tidak beres. Tidak seperti biasanya, tebal dengan pecahan lima dan satu dolar dan pecahan yang lebih besar. Ketika saya membuka amplopnya, bentuk serta warna isinya membuat saya terkejut.
Bukannya uang, tetapi beberapa catatan kecil di dalamnya. Yang satu berbunyi, “20 dolar untuk hadiah ulang tahun.” Yang lain bunyinya, “15 dolar untuk pesan pizza,” dan yang ketiga berbunyi “3 dolar untuk menyewa video.” Anda pasti tahu.
“Apakah ini?” Tanya saya.
“Oh, itu IOU (catatan pinjaman),” begitu jawabannya. “jangan khawatir, bagiku itu sama dengan uang tunai!”
“Tepat!”
Tidak perlu dikatakan lagi, saya menegur anak-anak saya karena raibnya uang “saya” itu. Tanggapan mereka menarik. “Yah, itu bukan uang Ayah, itu uang kami. Kami butuh untuk membeli barang-barang.”
Anda lihat, anak-anak saya baik-baik saja hidup dari pendapatan ayah mereka. Saya tergoda merasakan bahwa mereka telah memanfaatkan saya, tetapi saat saya merenungkan sesaat, saya sadar bahwa alasan mereka ada benarnya juga.
Pengalaman saya mengilustrasikan hal yang sama dengan Kitab Wahyu. Karena salib, Anak Domba dapat membuka gulungan kitab dan menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk menebus dunia ini. Saya tidak pernah membayar apapun untuk memperoleh keselamatan, tetapi bagi Dia harganya adalah nyawanya. Dalam satu pengertian, “Uang-Nya adalah uang kita juga.” Sungguh menyenangkan rasanya jadi anak Raja.

Tuhan, tolong aku untuk mengingat bahwa segala yang kumiliki adalah karunia dari-Mu, buah dari pengorbanan-Mu di kayu salib. Aku memilih untuk bermurah hati dengan karunia-karunia-Mu.

Sabtu, 27 April 2013

28 April



“Maka aku melihat ANAK DOMBA ITU MEMBUKA YANG PERTAMA DARI KETUJUH METERAI ITU, dan aku mendengar yang pertama dari keempat makhluk itu berkata dengan suara bagaikan bunyi guruh: "Mari!"  (Wahyu 6:1)

Keempat penunggang kuda menggambarkan tentang kengerian perang, kelaparan dan wabah penyakit. Bahasa yang digunakan seperti kembali kepada Imamat 26, Ulangan 32, yang memberitahukan ketiga wabah di antara sejumlah hukuman yang diberikan Tuhan, apabila melanggar hukum Musa. Dalam Wahyu 6 dijelaskan akibat dari penolakan kepada Yesus dan kepada keselamatan yang telah disediakan-Nya.
Di negara-negara barat, keadaan seperti kelaparan dan wabah penyakit sepertinya jarang terjadi. Hal ini biasanya terjadi pada sudut-sudut dunia yang diliputi “kegelapan”. Kalau saja kita dapat mengerti dengan jelas kengerian yang digambarkan dalam penglihatan ini, saat pertama kali dituliskan mungkin perlu memikirkan perumpamaan  lain yang lebih cocok untuk hal ini.
Waktu saya berumur 17 tahun, saya mulai bekerja pada sebuah perusahaan agen sementara. Tugas saya untuk menurunkan 1.100 pintu dari mobil boks, bersama beberapa orang. Kebanyakan tenaga kerja di kantor agen ini terdiri dari “pemabuk” dan “anak-anak kuliah”. Teman kerja di mobil boks saya terdiri dari orang-orang ini. Yang satu berumur 35 tahun dan yang lain berumur 47 tahun. Keduanya mulai menenggak “jatah” mereka sekitar pukul 11 pagi. Orang yang lebih tua bahkan sering pergi diam-diam dari pekerjaan untuk mencari bir. Kedua orang ini menarik perhatian saya, sehingga saya melakukan penyelidikan. Saya menemukan bahwa laki-laki yang lebih muda adalah seorang ahli ilmu fisika nuklir dan yang lebih tua seorang insinyur. Malahan insinyur ini pernah mengepalai sebuah konstruksi di Henderson di Pulau Guadalcanal, salah satu tempat peperangan paling terkenal di Pasifik di zaman Perang Dunia kedua.
Keduanya memulai hidup mereka dengan harapan yang tinggi dan pencapaian yang besar. Akan tetapi pengendara kuda “perang, kelaparan, dan wabah penyakit” telah menyerbu masuk ke dalam kehidupan mereka. Penyakit alkohol yang mengerikan telah menghancurkan keluarga mereka dan menjadikan mereka orang-orang menyedihkan dalam kehidupan sehari-hari. Bersusah payah untuk menyambung hidup benar-benar telah mengisap kehidupan mereka.
Tragedi bukanlah hal aneh bahkan untuk masyarakat yang makmur sekalipun. Kita semua memerlukan Anak Domba Allah untuk bisa bertahan hidup.

Tuhan, meterai dan sangkakala telah membingungkan banyak orang selama 2.000 tahun. Berilah aku gambaran yang jelas tentang tujuan-Mu memberikan simbol-simbol ini. Terangi pikiranku agar mengerti bagaimana Engkau melihat dunia kami.

Jumat, 26 April 2013

27 April


“Dan aku mendengar semua makhluk yang di sorga dan yang di bumi dan yang di bawah bumi dan yang di laut dan semua yang ada di dalamnya, berkata: "BAGI DIA YANG DUDUK DI ATAS TAKHTA DAN BAGI ANAK DOMBA, adalah puji-pujian dan hormat dan kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya!"…” (Wahyu 5:13,14)

Anak Domba sekarang telah bersatu bersama Bapa di atas takhta, sebagaimana telah dinyatakan dalam Wahyu 3:21. Ini adalah yang terakhir dari rangkaian lima nyanyian dan pujian dalam Wahyu 4 dan 5.
1.      Di dalam Wahyu 4:8, keempat makhluk menyanyikan nyanyian berdasarkan Yesaya 6, “Kudus, kudus kudus.” Mereka menunjukkkan nyanyian pujian itu kepada “Dia yang duduk di atas takhta,” bisa dikatakan Bapa.
2.      Di dalam Wahyu 4:11, tua-tua memuji Allah karena tindakan Penciptaan-Nya.
3.      Di dalam Wahyu 5:9,10, keempat makhluk dan ke-24 tua-tua bersama-sama memuji Anak Domba karena kematian-Nya di atas kayu salib.
4.      Di dalam Wahyu 5:12, tidak terhitung banyaknya malaikat bernyanyi di dalam puji-pujian bersam-sama seluruh alam semesta bersatu dalam puji-pujian.
5.      Akhirnya, dalam ayat di atas, Dia yang duduk di atas takhta dan Anak Domba menerima pujian bersama-sama saat seluruh alam semesta bersatu di dalam puji-pujian.
Yang terakhir dari kelima pujian ini adalah puncaknya. Dua pujian pertama dinyanyikan kepada Dia yang duduk di atas takhta dan difokuskan pada penciptaan. Dua pujian berikutnya dinyanyikan kepada Anak Domba dan difokuskan pada keselamatan. Pujian yang kelima memuji Keduanya. Jadi disini kita mendapati adanya progresi dari Bapa kepada Yesus dan akhirnya kepada Mereka berdua.
Kita juga mengamati crescendo luar biasa di dalam kelompok-kelompok yang menyanyikan pujian ini. Keempat makhluk pertama mewakili yang pertama dan ke-24 tua-tua. Dalam pujian ketiga, keempat makhluk beserta ke-24 tua-tua bergabung bersama menyanyi. Dalam pujian keempat, paduan suara malaikat yang luar biasa besar menyertai keempat makhluk dan ke-24 tua-tua. Akhirnya, setiap makhluk di alam semesta menyatakan pujian kelima.
Keseluruhan rangkaian Wahyu 4 dan 5 bergerak menuju klimaks dimana Anak Domba bersatu bersama Bapa di atas takhta. Poin utama pasal ini adalah, ditinggikannya status Anak Domba hingga menyamai Bapa. Itu adalah status yang diperoleh-Nya atas penyaliban. Oleh pengorbanan-Nya di salib membuat surga ditinggikan pada ketinggian yang belum pernah disaksikan sebelumnya. Tidak akan pernah Allah dipuja tanpa menyebutkan Anak Domba itu, apa yang telah Dia lakukan, dan mengapa Dia layak. Kegembiraan dan integritas alam semesta ini terpusat kepada kelayakan Anak Domba Allah.

Tuhan, aku meninggikan Yesus hari ini. Tujuan hidupku adalah untuk menaati Dia dalam segala apapun, karena Dia layak.

Kamis, 25 April 2013

26 April


“ANAK DOMBA YANG DISEMBELIH ITU LAYAK untuk menerima kuasa, dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan, dan hormat, dan kemuliaan, dan puji-pujian!" (Wahyu 5:12)

Bahwa Yesus menang oleh kematian-Nya tentunya menantang cara kita melakukan banyak hal. Kita memilih menghampiri Allah dari sudut pandang kekuatan. Dan kita berusaha menang dengan mengandalkan talenta kita, bukan rahmat karunia Allah. Namun demikian, melalui Anak Domba yang telah disembelih, kita belajar bahwa kemenangan sejati didapat melalui pengorbanan kelemahan. Pengorbanan Kristus memaksa kita untuk bergantung kepada pembenaran Allah, bukannya kemampuan atau daya upaya kita sendiri. Yesus telah menetapkan teladan untuk kemenangan sejati, dan surga memerintahkan agar kita mengikuti Dia.
Kebanyakan penulis sangat melindungi jadwal dan kebebasan pribadi mereka. Namun menjelang akhir hidupnya, Henri Nouwen mendobrak rintangan profesionalisme seperti itu. Dilatih di Belanda sebagai psikolog dan teolog, dia menghabiskan tahun-tahun hidupnya dengan berprestasi. Nouwen mengajar di Notre Dame, Yale, dan Harvard. Rata-rat menghasilkan lebih dari satu buku dalam setahun, dia banyak bepergian untuk memberi kuliah. Namun dalam prosesnya, kehidupan rohaninya sendiri mulai kering.
Sepuluh tahun sebelum kematiannya, dia membuat terobosan menjadi seorang imam di sebuah tempat orang-orang cacat di Toronto. Dia tinggal dalam kesederhanaan, dan menemukan ketenangan rohani di tengah mesyarakat yang terbuang. Suatu hari Philip Yancey mengunjunginya dan memperhatikan ketika Nouwen melayani perjamuan bagi Adam, seorang pria cacat berusia 26  tahun, tidak mampu bicara, berjalan, atau berpakaian sendiri. Adam tidak memperlihatkan tanda-tanda dia mengerti, berliur sepanjang upacara, dan beberapa kali mengerang dengan suara nyaring. Nouwen mengakui, dibutuhkan waktu hampir dua jam setiap harinya untuk memandikan dan memakaikan baju kepada Adam. Bagi Nouwen, “ketidakefisienan yang kudus” itu telah menjadi ruang doa dan perenungan baginya. Bagi Nouwen, tindakannya itu bukan pengorbanan. “Aku tidak mengorbankan apapun juga,” dia bersikeras, bukan saya, tapi Adam yang menerima manfaat dari persahabatan kami.”
Pada awalnya memang berat. Tetapi Nouwen telah belajar mengasihi Adam dengan sungguh-sungguh di dalam proses, dia mendapati seperti apa pastinya Allah mengasihi kita, secara rohani cacat, terbelakang, respons kita bagi Allah tampaknya seperti erangan dan keluhan. Di wajah Adam, Nouwen belajar bahwa seseorang tidak perlu harus berprestasi untuk dikasihi oleh Allah, seseorang bisa senantiasa mengandalkan kasih-Nya. Nouwen mengikuti jejak sang Anak Domba kepada kemenangan.

Tuhan, aku malu saat menyadari betapa aku telah termakan oleh budaya pencapaian dan sukses. Bantu aku untuk melihat orang-orang melalui mata Anak Domba yang telah tersembelih.