“Dan
mereka berkata kepada gunung-gunung dan kepada batu-batu karang itu:
"Runtuhlah menimpa kami dan sembunyikanlah kami terhadap Dia, yang duduk
di atas takhta dan terhadap MURKA
ANAK DOMBA ITU." Sebab sudah
tiba hari besar murka mereka dan siapakah yang dapat bertahan?” (Wahyu
6:16,17).
Itulah
momen-momen sangat menentukan dalam hidup saya. Berusia 15 tahun 2 bulan, saya
mengikuti sebuah perkemahan remaja. Tampaknya saya yang tertua dalam kelompok
saya, tetapi hanya terpaut beberapa minggu. Saat regu kami bersiap-siap tidur
pada malam pertama di hari Minggu, ada satu hal yang kurang. Belum ada seorang
pembina yang ditugaskan untuk membina kami. Pada pukul 2 pagi, sekelompok
pembina dengan perlahan membangunkan saya, membawa saya ke luar kemah, dan
memberitahu bahwa panitia telah memilih saya sebagai pembina regu. Sungguh
tugas yang sangat menegangkan! Usia saya kurang lebih sama dengan anak-anak
dalam regu saya, dan mereka akan menganggap bahwa saya hanyalah sebaya mereka!
Tantangan
terbesar terjadi beberapa hari kemudian. Seorang anak berumur 14 tahun
mengurung saya di kamar mandi. Ketika dia menolak membuka pintu atas permintaan
saya, lalu saya mendobrak pintunya. Dengan marah saya menyuruhnya membuka
sepatunya lalu berlari 10 kali naik turun jalur berkelikir di bukit terdekat.
Setelah beberapa kali bolak-balik, kakinya lecet dan berdarah sedikit. Saya
ketakutan saat menyadari bahwa saya telah menjatuhkan hukuman terlalu berat.
Tetapi jika saya menarik kembali perintah saya, maka tidak seorangpun dalam
regu akan menghormati saya. Tetapi saya turut ambil bagian di dalam hukuman
itu, menyelesaikan 10 kali naik turun bukit bersama anak itu. Minggu itu saya
tidak menemui kesulitan dalam regu saya, dan anak yang mengurung saya di kamar
mandi itu malah menjadi anak buah saya yang paling setia.
Konsep
“murka Anak Domba” seperti istilah yang saling bertentangan. Bisakah
membayangkan seekor “anak domba murka?” Anak Domba yang disembelih, tentu saja
mewaliki salib. Murka melambangkan ketidakrelaan Allah untuk berkompromi dengan
dosa. Dalam skala yang sangat kecil, pengalaman saya dengan anak-anak di
perkemahan mencerminkan persoalan yang Allah hadapi di alam semesta ini.
Meskipun Dia dapat memungkiri otoritas-Nya, itu akan membawa kepada kekacauan.
Tetapi sekedar menjadi “Penasihat Ajaib” berarti semua orang melayani Dia
dengan rasa takut.
Jadi
di salib, Dia bersama kita menanggung konsekuensi dosa. Dengan melakukannya,
Dia telah memenangkan kasih seluruh alam semesta, selain juga penghormatannya.
Dan pada akhirnya, “Anak Domba yang murka” yang tidak bersedia berkompromi
dengan dosa, namun demikian seperti para pendosa, terbukti sanggup memulihkan
alam semesta yang hancur.
Tuhan,
aku ingin menghormati integritas-Mu, dan mengasihi-Mu atas pengorbanan-Mu. Aku
ingin seperti Engkau dalam memperlakukan setiap orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar