“Tetapi Aku mencela engkau,…WANITA IZEBEL, yang menyebut
dirinya nabiah, MENGAJAR DAN
MENYESATKAN HAMBA-HAMBAKU SUPAYA BERBUAT ZINAH DAN MAKAN
PERSEMBAHAN-PERSEMBAHAN BERHALA” (Wahyu 2:20)
Seperti yang telah kita lihat, kepercayaan sipil Romawi memiliki
dua elemen utama yang melibatkan suatu kompromi dengan iman Kristen : masalah
makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala, dan masalah “perzinahan”.
Mengapa makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala di permasalahkan oleh
jemaat-jemaat pada zaman Yohanes? Bukankah Paulus mengatakan bahwa berhala itu
bukan apa-apa dan mempersembahkan makanan kepadanya tidak menjadi soal, karena
berhala tidak dapat berbicara, mendengar, atau merasa (1 Kor. 8:4,7-9). Tetapi
saat Kitab Wahyu ditulis, tampaknya situasi telah berubah. Saat orang-orang
memandang makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala sebagai cara untuk
membesarkan diri di hadapan Tuhan, itu akan menciptakan konflik hati nurani
yang serius bagi seorang Kristen.
Bukan itu saja. Bagian praktik kepercayaan kuno itu adalah
pelacuran yang diritualkan. Orang-orang percaya bahwa jika hubungan seksual
terjadi di kuil antara penduduk kota dengan imam-imam wanita, hujan akan turun
dengan berlimpah, tanaman-tanaman akan tumbuh, dan penduduk menjadi makmur.
Walaupun mungkin kedengaran aneh bagi kita, bagi orang-orang kuno itu masuk
akal. Orang-orang yang menjauhkan diri dari “tradisi warga” ini bisa dianggap
membahayakan kesejahteraan rakyat.
Pada zaman Wahyu tujuan hidup yang lebih tinggi adalah status.
Namun demikian, banyak orang Kristen merasa enggan berhenti mencari kedudukan
yang lebih tinggi. Mereka menginginkan peluang dalam bidang politik dan sosial
lalu rindu mengumpulkan kekayaan dan memiliki pengaruh. Tetapi itu tidak akan
terjadi, kecuali mereka, setidaknya sesekali, ikut berpartisipasi dalam pesta
pora dan pelacuran. Surat kepada jemaat-jemaat mengindikasikan bahwa ada
sebagian orang Kristen yang menimbang-nimbang pilihan lalu bertanya, “Mengapa
tidak? Jika tidak begitu, bagaimana kita menjangkau kelas atas bagi Kristus
seandainya kita tidak menjadi sama dengan mereka?”
Jadi orang Kristen mula-mula merasakan ketegangan antara
menjangkau masyarakat di satu pihak, dan kesetiaan kepada hikmat Tuhan di pihak
lain. Allah ingin menerima orang apa adanya. Tetapi Kitab Wahyu membahas
tentang bahaya dari sikap kompromi, bahkan dalam pencarian jiwa-jiwa. Kita
harus bersedia meninggalkan zona aman kita demi Injil. Tetapi kita tidak pernah
boleh mengkhianati hati nurani kita. Bejana yang kosong tidak pernah dapat
mengisi yang lain.
Tuhan, tolonglah gereja-Mu intuk
menyeimbangkan antara menjangkau orang-orang dengan kesetiaan hari ini. tolong
kami untuk tetap setia saat kami memanggil orang-orang untuk setia pada-Mu.