“DAN DARI TAKHTA ITU KELUAR KILAT DAN
BUNYI GURUH YANG MENDERU, dan tujuh obor menyala-nyala di hadapan
takhta itu: itulah ketujuh Roh Allah… di tengah-tengah takhta itu dan di
sekelilingnya ada EMPAT MAKHLUK penuh dengan mata, di sebelah muka dan di
sebelah belakang.” (Wahyu 4:5,6)
Kitab Wahyu tidak membedakan antara ruang takhta Allah
dengan Bait Allah surgawi. Keduanya dianggap sama. Takhta adalah tempat kuasa
dan otoritas, dan kilat serta suara guruh yang keluar dari takhta sudah pasti
akan sangat mengesankan. Yang duduk di atas takhta itu, dialah yang memegang
kendali, dialah yang punya hak untuk menyuruh-nyuruh orang lain.
Tetapi ayat hari ini menyinggung tentang takhta bersamaan
dengan tujuh obor dan keempat makhluk. Berbicara tentang obor, kita diingatkan
kembali pada tujuh jemaat di dalam pasal 1 sampai 3 (meskipun kata-kata dalam
Bahasa Yunani itu berbeda). Kita juga diingatkan pada tujuh kaki dian di dalam
Bait Suci Bangsa Ibrani dan Bait Suci Salomo.
Kebanyakan orang merasa lazim dengan istilah kerub yang
menaungi tabut perjanjian, menjaga tempat di mana kemuliaan Allah bersinar.
Tetapi Salomo bahkan punya ide yang jauh lebih agung untuk Bait Allah yang
dibangunnya. Dia menyuruh beberapa seniman mengukir sepasang malaikat terbuat
dari kayu zaitun. Posisinya menaungi tabut, dan 15-17 kaki tingginya. Selain
itu, sayap-sayapnya juga terbentang
hingga 15-17 kaki lebarnya. Lalu ditempatkan di bilik maha kudus, sedemikian
rupa sehingga ujung sayap kerub yang satu bersentuhan dengan dinding, ujung
sayap yang satunya bersentuhan dengan dinding di seberang, dan sayap yang lain
bertemu di bagian tengah ruangan.
Ini menjadikan keempat kerub atau malaikat-malaikat yang
menaungi dihubungkan dengan tabut perjanjian di bilik maha kudus. Jadi keempat
makhluk kemungkinan besar menyinggung keempat kerub dalam Bait Suci Salomo.
Dalam kasus ini, ayat renungan kita menjabarkan baik ruang takhta surga dan bilik mahakudus, keduanya adalah sama.
Karena pusat kekuasaan Allah berada di dalam bilik maha
kudus, maka pemerintahan alam semesta
tidak didasarkan pada kekuatan semata, melainkan oleh prinsip-prinsip rohani
dari bilik mahakudus. Allah yang menjalankan kuasa dan otoritas di alam semesta
adalah Allah yang sama yang menawarkan kebaikan, penerimaan, dan pengampunan
seperti terilustrasikan pada kebaktian Bait Suci di zaman Perjanjian Lama dulu.
Keselamatan semesta alam didasarkan pada kombinasi kuasa dan kasih karunia,
otoritas dan belas kasihan. Allah kita adalah Allah yang dapat dipercaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar