Senin, 08 April 2013

9 April


“Dan keempat makhluk itu masing-masing bersayap enam, sekelilingnya dan di sebelah dalamnya penuh dengan mata, dan dengan tidak berhenti-hentinya mereka berseru siang dan malam: "KUDUS, KUDUS, KUDUSLAH TUHAN ALLAH, YANG MAHAKUASA, yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang." (Wahyu 4:8)

Frasa “kudus, kudus, kudus” menggemakan pasal keenam Kitab Yesaya. Pada zaman Yesaya, Yehuda sedang menghadapi krisis yang serius. Raja Uzia baru saja wafat. Memperingati pentingnya peristiwa-peristiwa tersebut, perlu di ketahui bahwa dia telah memerintah atas Yehuda selama 52 tahun. Mayoritas rakyat Yehuda tidak mengenal penguasa lain. Yang membuat keadaan menjadi lebih buruk adalah, Uzia termasuk satu diantara raja-raja paling sukses yang pernah memerintah umat-umat Allah. Jadi bagi orang-orang, bisa dipastikan bahwa keadaan akan memburuk. Dengan perasaan takut, mereka menghadapi masa depan yang serba tidak pasti.
Pada masa krisis ini Yesaya mendapat penglihatan tentang takhta Allah . Dia melihat makhluk-makhluk malaikat di sekeliling takhta menyanyi, “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta alam” (Yesaya 6:3). Yesaya adalah seorang imam, seorang yang relative kudus, di bilik mahakudus, di antara orang-orang paling kudus di bumi pada periode dalam sejarah di mana orang-orang sangat setia. Namun demikian, kecil hati dengan penglihatannya mengenai kekudusan Allah, dia berseru, “Celakalah aku! Aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni Tuhan semesta alam” (ayat 5). Di hadapan Allah, segala pencapaian dan kesuksesan pribadi tidak berarti apa-apa, terlihat layu. Yesaya mengenali kenajisannya, bukan karena dia membandingkan dirinya dengan orang lain, tetapi karena dia sudah berhadapan muka dengan Allah semesta alam.
Di sini terletak satu prinsip kerohanian yang berkuasa. Sangat mudah menjadi bangga dengan kemajuan dan pencapaian kerohanian seseorang ketika membandingkan diri dengan kelemahan orang lain. Makin mudah kita merendahkan hasil usaha orang lain, maka semakin mudah Anda menganggap penilaian Anda lebih tinggi dari yang lain. Tetapi ini berarti bahwa pandangan Anda tidak lagi menuju kepada Allah. Anda telah membangun diri Anda dan kehilangan hubungan yang sejati dengan Tuhan. Sebaliknya, indikasi paling kuat menandakan seseorang dalam hubungan yang hidup dengan Allah, adalah memiliki roh kerendahan hati. Mereka yang telah melihat wajah Allah akan dengan susah hati menyadari kelemahan, dosa-dosa dan kekurangan mereka. Ketika kita benar-benar merendahkan diri, kita tidak akan memiliki pilihan yang lain, kecuali untuk naik ke atas, ke hadapan Allah.

Tuhan, bantulah aku agar dapat melihat wajah-Mu hari ini. Segala pencapaian hidupku tidak akan menyelamatkan aku, tetapi kerendahan hati dan penyesalan atas dosa-dosaku, itulah yang harus aku miliki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar