“HENDAKLAH ENGKAU
SETIA SAMPAI MATI, dan Aku akan
mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan. BARANGSIAPA MENANG, IA TIDAK AKAN MENDERITA APA-APA OLEH KEMATIAN YANG
KEDUA." (Wahyu 2:10,11).
Policarpus adalah kepala gereja Smirna sekitar tahun 155 M.
Kumpulan orang banyak di stadion geger karena penangkapannya. Tetapi saat
polisi tiba di pondoknya untuk menangkapnya, dia malah menjamu mereka, mohon
waktu satu jam untuk berdoa sebelum membawanya. Para opsir kagum dengan
kemurahan hatinya dan sedih karena mereka harus menangkapnya. Saat dia berjalan
menuju stadion diiringi sorak sorai orang banyak, ada suara dari surga
mengatakan, “Kuatkan hatimu, Policarpus, dan jalani nasibmu”.
Gubernur, karena rasa
hormatnya kepada usianya, berusaha membujuk Policarpus untuk menghindari
kematian dengan menawarkan jalan keluar yang sederhana, “Yang perlu kau lakukan
hanyalah mengatakan, ‘Enyahlah para ateis’”. Orang banyak menggunakan kalimat
itu kepada orang – orang Kristen, menyebut mereka ateis. Policarpus melambaikan
tangannya kearah kerumunan orang kafir dan mengatakan, “Enyahlah para ateis”.
Tidak puas, gubernur mengatakan, “Kutukilah Kristus, maka aku akan membebaskan
engkau”.
“Delapan puluh enam tahun
aku melayani Dia dan Dia tidak melakukan kesalahan apapun terhadapku,” jawab
sang kepala gereja. “Bagaimana aku bisa menghujat Raja yang telah menyelamatkan
aku?” Ketika gubernur mengancam akan membakarnya, Policarpus menjawab, “Engkau
mengancam aku dengan api yang menyala selama satu jam saja, karena engkau tidak
tahu tentang api penghakiman yang akan
membakar orang-orang yang tidak taat. Tetapi untuk apa kita menunda-nunda?
Laksanakan saja keinginanmu!”.
Ketika mereka ingin
memakukan Policarpus di tiang, dia berkata, “Biarkan aku begini. Dia yang akan
menolongku bertahan dari api juga akan menolongku untuk tetap berada di sini,
bahkan tanpa paku.” Ketika mereka menyalakan api, api itu membentuk kubah
sekelilingnya, tampak seperti perapian. Sang kepala gereja berdiri di
tengah-tengahnya, tak tersentuh api. Kumpulan orang banyak, tak sanggup
menerima kekalahan mereka membunuhnya dengan belati. Policarpus pun mati karena
imannya.
Ancaman kematian bagi orang-orang
Kristen bukanlah masalah dalam dunia dewasa ini. Mudah menganggap bahwa
cerita-cerita seperti ini seperti tidak relevan dalam kehidupan kita
sehari-hari, terutama jika kita hidup nyaman di komplek-komplek perumahan.
Kemartiran saudara-saudari kita di masa lalu, bahkan di masa kini menantang
kita untuk memperhitungkan seberapa besar iman kita. Bagaimanakah sikap kita
jika ditempatkan dalam situasi yang sama? Dapatkah iman kita bertumbuh dan
matang tanpa tantangan seperti itu? Seberapa besarkah Yesus benar-benar
berharga bagi kita?
Tuhan,
tolonglah aku mengitung harga iman. Aku ingin menerima tantangan kecil saat ini
agar aku dapat menghadapi apa yang tersedia bagiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar