Minggu, 17 Februari 2013

18 Februari



HENDAKLAH ENGKAU SETIA SAMPAI MATI, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan. BARANGSIAPA MENANG, IA TIDAK AKAN MENDERITA APA-APA OLEH KEMATIAN YANG KEDUA." (Wahyu 2:10,11).

Policarpus adalah kepala gereja Smirna sekitar tahun 155 M. Kumpulan orang banyak di stadion geger karena penangkapannya. Tetapi saat polisi tiba di pondoknya untuk menangkapnya, dia malah menjamu mereka, mohon waktu satu jam untuk berdoa sebelum membawanya. Para opsir kagum dengan kemurahan hatinya dan sedih karena mereka harus menangkapnya. Saat dia berjalan menuju stadion diiringi sorak sorai orang banyak, ada suara dari surga mengatakan, “Kuatkan hatimu, Policarpus, dan jalani nasibmu”.
Gubernur, karena rasa hormatnya kepada usianya, berusaha membujuk Policarpus untuk menghindari kematian dengan menawarkan jalan keluar yang sederhana, “Yang perlu kau lakukan hanyalah mengatakan, ‘Enyahlah para ateis’”. Orang banyak menggunakan kalimat itu kepada orang – orang Kristen, menyebut mereka ateis. Policarpus melambaikan tangannya kearah kerumunan orang kafir dan mengatakan, “Enyahlah para ateis”. Tidak puas, gubernur mengatakan, “Kutukilah Kristus, maka aku akan membebaskan engkau”.
“Delapan puluh enam tahun aku melayani Dia dan Dia tidak melakukan kesalahan apapun terhadapku,” jawab sang kepala gereja. “Bagaimana aku bisa menghujat Raja yang telah menyelamatkan aku?” Ketika gubernur mengancam akan membakarnya, Policarpus menjawab, “Engkau mengancam aku dengan api yang menyala selama satu jam saja, karena engkau tidak tahu tentang api penghakiman  yang akan membakar orang-orang yang tidak taat. Tetapi untuk apa kita menunda-nunda? Laksanakan saja keinginanmu!”.
Ketika mereka ingin memakukan Policarpus di tiang, dia berkata, “Biarkan aku begini. Dia yang akan menolongku bertahan dari api juga akan menolongku untuk tetap berada di sini, bahkan tanpa paku.” Ketika mereka menyalakan api, api itu membentuk kubah sekelilingnya, tampak seperti perapian. Sang kepala gereja berdiri di tengah-tengahnya, tak tersentuh api. Kumpulan orang banyak, tak sanggup menerima kekalahan mereka membunuhnya dengan belati. Policarpus pun mati karena imannya.
Ancaman kematian bagi orang-orang Kristen bukanlah masalah dalam dunia dewasa ini. Mudah menganggap bahwa cerita-cerita seperti ini seperti tidak relevan dalam kehidupan kita sehari-hari, terutama jika kita hidup nyaman di komplek-komplek perumahan. Kemartiran saudara-saudari kita di masa lalu, bahkan di masa kini menantang kita untuk memperhitungkan seberapa besar iman kita. Bagaimanakah sikap kita jika ditempatkan dalam situasi yang sama? Dapatkah iman kita bertumbuh dan matang tanpa tantangan seperti itu? Seberapa besarkah Yesus benar-benar berharga bagi kita?

Tuhan, tolonglah aku mengitung harga iman. Aku ingin menerima tantangan kecil saat ini agar aku dapat menghadapi apa yang tersedia bagiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar