Kamis, 28 Februari 2013

1 Maret



“Tetapi Aku mencela engkau,WANITA IZEBEL, yang menyebut dirinya nabiah, MENGAJAR DAN MENYESATKAN HAMBA-HAMBAKU SUPAYA BERBUAT ZINAH DAN MAKAN PERSEMBAHAN-PERSEMBAHAN BERHALA” (Wahyu 2:20)

Seperti yang telah kita lihat, kepercayaan sipil Romawi memiliki dua elemen utama yang melibatkan suatu kompromi dengan iman Kristen : masalah makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala, dan masalah “perzinahan”. Mengapa makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala di permasalahkan oleh jemaat-jemaat pada zaman Yohanes? Bukankah Paulus mengatakan bahwa berhala itu bukan apa-apa dan mempersembahkan makanan kepadanya tidak menjadi soal, karena berhala tidak dapat berbicara, mendengar, atau merasa (1 Kor. 8:4,7-9). Tetapi saat Kitab Wahyu ditulis, tampaknya situasi telah berubah. Saat orang-orang memandang makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala sebagai cara untuk membesarkan diri di hadapan Tuhan, itu akan menciptakan konflik hati nurani yang serius bagi seorang Kristen.
Bukan itu saja. Bagian praktik kepercayaan kuno itu adalah pelacuran yang diritualkan. Orang-orang percaya bahwa jika hubungan seksual terjadi di kuil antara penduduk kota dengan imam-imam wanita, hujan akan turun dengan berlimpah, tanaman-tanaman akan tumbuh, dan penduduk menjadi makmur. Walaupun mungkin kedengaran aneh bagi kita, bagi orang-orang kuno itu masuk akal. Orang-orang yang menjauhkan diri dari “tradisi warga” ini bisa dianggap membahayakan kesejahteraan rakyat.
Pada zaman Wahyu tujuan hidup yang lebih tinggi adalah status. Namun demikian, banyak orang Kristen merasa enggan berhenti mencari kedudukan yang lebih tinggi. Mereka menginginkan peluang dalam bidang politik dan sosial lalu rindu mengumpulkan kekayaan dan memiliki pengaruh. Tetapi itu tidak akan terjadi, kecuali mereka, setidaknya sesekali, ikut berpartisipasi dalam pesta pora dan pelacuran. Surat kepada jemaat-jemaat mengindikasikan bahwa ada sebagian orang Kristen yang menimbang-nimbang pilihan lalu bertanya, “Mengapa tidak? Jika tidak begitu, bagaimana kita menjangkau kelas atas bagi Kristus seandainya kita tidak menjadi sama dengan mereka?”
Jadi orang Kristen mula-mula merasakan ketegangan antara menjangkau masyarakat di satu pihak, dan kesetiaan kepada hikmat Tuhan di pihak lain. Allah ingin menerima orang apa adanya. Tetapi Kitab Wahyu membahas tentang bahaya dari sikap kompromi, bahkan dalam pencarian jiwa-jiwa. Kita harus bersedia meninggalkan zona aman kita demi Injil. Tetapi kita tidak pernah boleh mengkhianati hati nurani kita. Bejana yang kosong tidak pernah dapat mengisi yang lain.

Tuhan, tolonglah gereja-Mu intuk menyeimbangkan antara menjangkau orang-orang dengan kesetiaan hari ini. tolong kami untuk tetap setia saat kami memanggil orang-orang untuk setia pada-Mu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar