Jumat, 04 Januari 2013

6 Januari



“Inilah Wahyu Yesus Kristus, yang dikarunaiakan Allah kepada-Nya,…dan oleh malaikat yang diutusnya, Ia telah MENYATAKANNYA kepada hambanya Yohanes”. (Wahyu 1:1)

       Ibu Stefanie dilahirkan di sebuah pulau kecil bernama Krk, di lepas pantai Kroasia di bekas Negara Yugoslavia. Saat masih kecil, dia biasa berenang setiap hari di air jernih Laut Adriatik  dan memetik asparagus liar sepanjang pantai berbatu karang itu. Ketika ia remaja, akhirnya permohonan keimigrasian ayahnya lolos setelah betahun-tahun lamanya menunggu, dan ia mendapati dirinya dipindahkan bersama-sama orangtuanya dan saudara perempuannya di dalam hiruk-pikuk kebisingan Kota New York.
   Mungkin unsur paling membingungkan dari lingkungan barunya itu adalah bahasa. Walaupun banyak orang Amerika tidak menyadarinya, Bahasa Inggris Amerika penuh ungkapan-ungkapan yang sulit dipahami imigran baru. Bayangkan keheranan seorang pendatang baru saat mendengar seseorang “jatuh cinta setengah mati”. Bahkan lebih membingungkan lagi, bagi si imigran adalah ungkapan “dunia kanibal”. Dan bayangkan kebingungan saat seorang sahabat terpercaya memerintahkan si imigran untuk “mematahkan kaki.”
       Ungkapan-ungkapan ini kelihatannya tidak masuk akal bagi para pendatang ketika mereka medengarnya. Tapi bagi mereka yang tumbuh dewasa di Amerika, ungkapan-ungkapan itu memberi informasi penting, apalagi bila dipadukan nada suara yang tepat. Cara terbaik untuk mempelajari ungkapan-ungkapan seperti itu adalah meluangkan banyak waktu mendengarkan orang-orang yang telah terbiasa menggunakannya.
    Yesus sering menggunakan ungkapan yang sama. Saat Ia memperingatkan murid-murid-Nya terhadap “ragi orang-orang Farisi,” Dia bukan mengatakan para pemimpin agama itu adalah tukang-tukang roti yang menyamar menjual roti beracun di pasar! Dan pikirkan bagaimana kita menggunakan “hati”. Walaupun kita hidup dalam masyarakat yang maju secara medis, kita masih menanggap pusat emosioanal tubuh manusia sebagai “hati”.
    Ayat pagi ini mengatakan bahwa wahyu Yesus Kristus telah “menyatakannya”, hal itu mengingatkan kita agar berhati-hati bagaimana kita beralih dari kata Wahyu kepada maknanya. Sesuatu ternyata bisa jadi sangat berbeda dibandingkan dengan kesan mula-mula ditimbulkannya. Sebagaimana para imigran, mereka yang mempelajari Kitab Wahyu tidak boleh terlalu banyak mengartikan kitab itu dengan kemampuannya sendiri. Tetapi perlu membandingkan pengertian dengan mereka yang telah mempelajari seksama kitab itu. Dalam mempelajari Kitab Wahyu, adalah baik memiliki “beberapa penasihat”.
     Tuhan, beri aku semangat untuk belajar sementara aku mempelajari  buku ini. Bantu aku mempertimbangkan gagasan orang lain dengan hati-hati sebelum aku menjadi terlalu percaya diri pada penapatku sendiri tentang hal ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar