“…Sesungguhnya Aku akan menyuruh mereka datang dan
tersungkur di depan kakimu dan mengaku,
BAHWA AKU MENGASIHI ENGKAU.” (Wahyu
3:9)
Bob
adalah seorang hamba Tuhan aliran Presbytarian dari Filipina. Sebagian orang
menyebutnya pendeta yang “alami”. Suatu hari, saat menuju ke mimbar untuk
berkhotbah, dia berhenti di dekat istrinya dan menggendong putrinya yang
berumur 10 bulan. Sambil menggendongnya, dia melangkah naik ke atas mimbar dan
mengawali khotbahnya. Pada mulanya gadis kecil itu menatap orang-orang di
hadapannya, tetapi dia meraih dan merenggut dasi ayahnya, dan memasukkannya ke
dalam mulutnya. Semua orang tertawa. Pendeta Bob melepaskan dasinya dan
memakainya kembali, lalu melanjutkan khotbahnya.
Putrinya
meraih kacamatanya lalu menariknya hingga terlepas. Orang-orang tergelak.
Mengambil kembali kacamatanya, Pendeta Bob memakainya kembali dan mencium
putrinya. Lalu dia melanjutkan khotbahnya! Kurang lebih semenit kemudian, gadis
kecil itu mengulurkan tangannya dan menyambar hidungnya! Semua orang, termasuk
Pendeta Bob, tergelak-gelak.
Ketika
suasana menjadi hening kembali, Pendeta Bob mengatakan kepada jemaat, “Adakah
yang dia lakukan yang tidak akan Anda maafkan?” orang-orang mulai mengangguk,
memikirkan anak-anak dan cucu-cucu mereka sendiri.
“Dan
kapan itu berakhir?” Pendeta Bob melanjutkan. “Pada usia 3 tahun? 15 tahun? 30
tahun? Harus setua apa Anda sebelum Anda lupa bahwa setiap orang adalah seorang
anak Tuhan?” Hadirin terdiam. Sangat hening tanpa suara. Dengan sangat lembut
pendeta bertanya, “Dan kapan Anda lupa bahwa Anda juga seorang anak Tuhan?”
Apakah
Allah kurang mengasihi kita dibandingkan kita mengasihi anak-anak kita? Apakah
kelanjutan seorang anak berumur 3 tahun sebagai anggota keluarga tergantung
dari apakah dia tidak pernah membuat kekacauan? Tergantung dari kemampuannya
mencari nafkah? Apa Anda pikir Allah itu orang tua yang jauh lebih buruk
dibandingkan kebanyakan dari kita? Apakah jauh dalam batin kita merasa bahwa
kita tidak pernah cukup baik untuk memperoleh penerimaan dan kebaikan Tuhan?
Sadar atau tidak, sering kita bertindak atas dasar perjanjian yang dilandasi
rasa takut kepada Allah, perilaku dan hubungan kita dimotivasi oleh upaya untuk
menghindari penghakiman-Nya.
Banyak
dari kita berupaya keras agar layak menerima kasih Allah. Kita enggan percaya
bahwa kita pantas. Mungkin itulah penyebab sebagian besar tekanan yang kita
rasakan. Mungkin kita perlu menjadi seperti anak kecil lagi agar tahu betapa
Allah mengasihi kita.
Tuhan, terima kasih telah menerima aku bagian dari
keluarga-Mu di dalam Kristus. Aku akan mengandalkan kasih-Mu hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar