Jumat, 15 Maret 2013

16 Maret



“…Sesungguhnya Aku akan menyuruh mereka datang dan tersungkur di depan kakimu dan mengaku, BAHWA AKU MENGASIHI ENGKAU.” (Wahyu 3:9)

Bob adalah seorang hamba Tuhan aliran Presbytarian dari Filipina. Sebagian orang menyebutnya pendeta yang “alami”. Suatu hari, saat menuju ke mimbar untuk berkhotbah, dia berhenti di dekat istrinya dan menggendong putrinya yang berumur 10 bulan. Sambil menggendongnya, dia melangkah naik ke atas mimbar dan mengawali khotbahnya. Pada mulanya gadis kecil itu menatap orang-orang di hadapannya, tetapi dia meraih dan merenggut dasi ayahnya, dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Semua orang tertawa. Pendeta Bob melepaskan dasinya dan memakainya kembali, lalu melanjutkan khotbahnya.
Putrinya meraih kacamatanya lalu menariknya hingga terlepas. Orang-orang tergelak. Mengambil kembali kacamatanya, Pendeta Bob memakainya kembali dan mencium putrinya. Lalu dia melanjutkan khotbahnya! Kurang lebih semenit kemudian, gadis kecil itu mengulurkan tangannya dan menyambar hidungnya! Semua orang, termasuk Pendeta Bob, tergelak-gelak.
Ketika suasana menjadi hening kembali, Pendeta Bob mengatakan kepada jemaat, “Adakah yang dia lakukan yang tidak akan Anda maafkan?” orang-orang mulai mengangguk, memikirkan anak-anak dan cucu-cucu mereka sendiri.
“Dan kapan itu berakhir?” Pendeta Bob melanjutkan. “Pada usia 3 tahun? 15 tahun? 30 tahun? Harus setua apa Anda sebelum Anda lupa bahwa setiap orang adalah seorang anak Tuhan?” Hadirin terdiam. Sangat hening tanpa suara. Dengan sangat lembut pendeta bertanya, “Dan kapan Anda lupa bahwa Anda juga seorang anak Tuhan?”
Apakah Allah kurang mengasihi kita dibandingkan kita mengasihi anak-anak kita? Apakah kelanjutan seorang anak berumur 3 tahun sebagai anggota keluarga tergantung dari apakah dia tidak pernah membuat kekacauan? Tergantung dari kemampuannya mencari nafkah? Apa Anda pikir Allah itu orang tua yang jauh lebih buruk dibandingkan kebanyakan dari kita? Apakah jauh dalam batin kita merasa bahwa kita tidak pernah cukup baik untuk memperoleh penerimaan dan kebaikan Tuhan? Sadar atau tidak, sering kita bertindak atas dasar perjanjian yang dilandasi rasa takut kepada Allah, perilaku dan hubungan kita dimotivasi oleh upaya untuk menghindari penghakiman-Nya.
Banyak dari kita berupaya keras agar layak menerima kasih Allah. Kita enggan percaya bahwa kita pantas. Mungkin itulah penyebab sebagian besar tekanan yang kita rasakan. Mungkin kita perlu menjadi seperti anak kecil lagi agar tahu betapa Allah mengasihi kita.

Tuhan, terima kasih telah menerima aku bagian dari keluarga-Mu di dalam Kristus. Aku akan mengandalkan kasih-Mu hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar