Rabu, 06 Maret 2013

7 Maret



“BANGUNLAH, dan kuatkanlah apa yang masih tinggal yang sudah hampir mati,…KARENA JIKALAU ENGKAU TIDAK BERJAGA-JAGA, AKU AKAN DATANG SEPERTI PENCURI,…” (Wahyu 3:2,3)

Bagi orang-orang Kristen, tetap berjaga-jaga secara rohani adalah hal paling sukar saat dunia di sekeliling Anda tertidur. Tidak lama setelah Hitler berkuasa di tahun 1933, sebanyak 7.000 orang pendeta Lutheran menentang “Klausa Arian” yang melarang orang-orang Kristen dari keturunan Yahudi untuk bekerja bagi gereja. Sebagai tanda protes, pendeta-pendeta ini memisahkan diri dari gereja negara dan membentuk Gereja Pengakuan.
Salah seorang pendeta, Dietrich Bonhoeffer, meninggalkan kedudukan bergengsi di Universitas Berlin dan pindah ke London. Namun atas permintaan Gereja Pengakuan, dengan dia kembali ke Jerman tahun 1935, untuk memimpin Seminari Pengakuan bagi hamba-hamba Tuhan yang masih muda. Ketika itu dia sendiri baru berusia 29 tahun. Pada tahun 1936, pihak berwenang melarangnya untuk terus memberikan kuliah di Universitas Berlin, dan seminari itu semakin bergerak di bawah tanah.
Hitler mengalihkan perhatiannya pada Gereja Pengakuan. Dia mengizinkan mereka untuk memelihara keunikan mereka, menawarkan kepada mereka legitimasi sebagai ganti dukungan penuh mereka atas rencananya bagi negara. Bonhoeffer menentang kompromi seperti itu karena yakin bahwa yang jahat dan yang baik tidak dapat hidup berdampingan. Posisinya makin terisolasi saat Gereja Pengakuan merasa bahwa situasi yang tidak aman membutuhkan kerjasama yang terbatas dengan pihak negara. Tetapi Bonhoeffer berkata, itu karena tidak adanya kejelasan moral.
Pada tahun 1939, dia menerima undangan memberikan kuliah di Amerika Serikat. Sementara berada di sana, para teolog Amerika mendesaknya untuk tinggal di Amerika dalam situasi aman. Namun hati nuraninya tidak mengizinkannya memilih kehidupan yang relativ mudah. Menjelang perang segera pecah, dia berlayar menuju Jerman. Perlawanannya terhadap pemerintahan Nazi begitu terang-terangan sehingga pemerintah Jerman menangkapnya. Pada tanggal 9 April 1945, beberapa minggu sebelum perang brakhir, dia dihukum mati di sebuah kamp konsentrasi bernama Flossenburg.
Entah kita berusaha untuk mempertobatkan mereka yang terhilang atau berjuang demi keadilan sosial, mudah untuk menjadi lelah dalam pekerjaan baik dan mengikuti arus seperti yang dilakukan Jemaat Sardis. Ini terutama terjadi saat gereja sendiri menjadi bagian dari kumpulan orang banyak. Satu-satunya orang yang mampu berdiri tegak pada masa-masa seperti itu adalah mereka yang kompas moralnya tidak didasarkan pada logika dan hati nurani semata, tetapi pada ajaran-ajaran Firman Allah yang jelas.

Tuhan, arahkan hati nuraniku kepada Firman Allah. Semoga aku tidak pernah berkompromi dengan kejahatan dan sementara itu menunjukkan belas ksihan kepada mereka yang hati nuraninya masih belum jelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar