“BANGUNLAH, dan kuatkanlah apa yang masih tinggal yang sudah hampir mati,…KARENA JIKALAU
ENGKAU TIDAK BERJAGA-JAGA, AKU AKAN DATANG SEPERTI PENCURI,…” (Wahyu 3:2,3)
Bagi
orang-orang Kristen, tetap berjaga-jaga secara rohani adalah hal paling sukar
saat dunia di sekeliling Anda tertidur. Tidak lama setelah Hitler berkuasa di
tahun 1933, sebanyak 7.000 orang pendeta Lutheran menentang “Klausa Arian” yang
melarang orang-orang Kristen dari keturunan Yahudi untuk bekerja bagi gereja.
Sebagai tanda protes, pendeta-pendeta ini memisahkan diri dari gereja negara
dan membentuk Gereja Pengakuan.
Salah
seorang pendeta, Dietrich Bonhoeffer, meninggalkan kedudukan bergengsi di
Universitas Berlin dan pindah ke London. Namun atas permintaan Gereja
Pengakuan, dengan dia kembali ke Jerman tahun 1935, untuk memimpin Seminari
Pengakuan bagi hamba-hamba Tuhan yang masih muda. Ketika itu dia sendiri baru
berusia 29 tahun. Pada tahun 1936, pihak berwenang melarangnya untuk terus
memberikan kuliah di Universitas Berlin, dan seminari itu semakin bergerak di
bawah tanah.
Hitler
mengalihkan perhatiannya pada Gereja Pengakuan. Dia mengizinkan mereka untuk
memelihara keunikan mereka, menawarkan kepada mereka legitimasi sebagai ganti
dukungan penuh mereka atas rencananya bagi negara. Bonhoeffer menentang
kompromi seperti itu karena yakin bahwa yang jahat dan yang baik tidak dapat
hidup berdampingan. Posisinya makin terisolasi saat Gereja Pengakuan merasa
bahwa situasi yang tidak aman membutuhkan kerjasama yang terbatas dengan pihak
negara. Tetapi Bonhoeffer berkata, itu karena tidak adanya kejelasan moral.
Pada
tahun 1939, dia menerima undangan memberikan kuliah di Amerika Serikat.
Sementara berada di sana, para teolog Amerika mendesaknya untuk tinggal di
Amerika dalam situasi aman. Namun hati nuraninya tidak mengizinkannya memilih
kehidupan yang relativ mudah. Menjelang perang segera pecah, dia berlayar
menuju Jerman. Perlawanannya terhadap pemerintahan Nazi begitu terang-terangan
sehingga pemerintah Jerman menangkapnya. Pada tanggal 9 April 1945, beberapa
minggu sebelum perang brakhir, dia dihukum mati di sebuah kamp konsentrasi
bernama Flossenburg.
Entah
kita berusaha untuk mempertobatkan mereka yang terhilang atau berjuang demi
keadilan sosial, mudah untuk menjadi lelah dalam pekerjaan baik dan mengikuti
arus seperti yang dilakukan Jemaat Sardis. Ini terutama terjadi saat gereja
sendiri menjadi bagian dari kumpulan orang banyak. Satu-satunya orang yang
mampu berdiri tegak pada masa-masa seperti itu adalah mereka yang kompas
moralnya tidak didasarkan pada logika dan hati nurani semata, tetapi pada
ajaran-ajaran Firman Allah yang jelas.
Tuhan, arahkan hati nuraniku kepada Firman Allah. Semoga aku
tidak pernah berkompromi dengan kejahatan dan sementara itu menunjukkan belas
ksihan kepada mereka yang hati nuraninya masih belum jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar