Kamis, 28 Maret 2013

29 Maret


“Barangsiapa Kukasihi, ia KUTEGOR DAN KUHAJAR; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!” (Wahyu 3:19)

Kita hidup di dunia dimana konseling dan psikologi mengajar kita bersikap lemah lembut terhadap orang lain dengan kesadaran bahwa kita mengalami suatu penderitaan yang sama. Sebagai akbatnya, kita memandang perilaku salah orang lain sebagai suatu penyakit, bukannya dosa. Dan memang benar bahwa kita semua hingga tingkatan tertentu telah menjadi korban. Namun hasil pendekatan ini bisa jadi keeangganan untuk mendengar teguran, sekalipun dari mulut Yesus sendiri. Hanya sedikit orang ingin mendengar Allah berbicara keras kepada kita. Faktanya, Yesus menegur mereka yang Dia kasihi, dan seringkali dengan keras. Konfrontasi yang sejati dapat menghindarkan banyak sakit hati.
Pasukan Angkatan Darat Jerman sedang menapaki bukit. Di bawah mereka terbentang sungai Rhine, penuh dengan bongkahan salju yang mencair. Bahkan pada jarak ini pun, kehadiran Jerman sudah melanggar Perjanjian Versailles 1918. Menaiki menara tank, sang Komandan menghentikan barisan dan menatap ke kejauhan. Meriam-meriam Perancis di sisi seberang tetap bungkam. Barisan bergerak perlahan, mendengarkan bunyi artileri pertama. Tank-tank mengarungi batas air dan menyebar tanpa insiden tidak bersedia mengawali peperangan, pihak Perancis tidak berbuat apa-apa. Bertahun-tahun kemudian, setelah perang berakhir, barulah pihak Sekutu mendapati adanya perintah rahasia dari Hitler agar pasukannya meyeberangi sungai Rhine pada pagi hari di bulan Maret 1936 itu. Dia memberi tahu mereka bila melihat tanda-tanda perlawanan Perancis dimulai, mereka harus mundur.
Kita tidak pernah tahu pasti, tetapi mungkin kemanusiaan akan dapat mengubah jalannya Perang Dunia II seandainya hari itu Perancis memberikan perlawanan. Seandainya reputasi Hitler tercoreng, para jenderalnya mungkin tidak begitu kooperatif dengannya. Jutaan nyawa mungkin dapat terselamatkan seandainya Hitler mendapati di tahun 1936 itu negara-negara lain akan bertanggung jawab atas pelanggaran perdamaian.
Para pemimpin sekutu takut terhadap konflik bersenjata, tetapi mereka gagal untuk menghindarinya. Dan tidak adanya tindakan di pihak mereka menjadikan keadaan menjadi lebih buruk. Ketika itu baik orang-orang Jerman maupun para pemimpin angkatan bersenjata mereka, sebenarnya tidak ada yang siap untuk berperang. Perlawanan akan memaksa Hitler mundur. Pihak sekutu terlalu takut untuk memeranginya, memberi Hitler peluang untuk menambah angkatan bersenjatanya. Saat perang benar-benar pecah, kekuatan Hitler sudah jauh lebih kuat, dan dia sanggup memulai peperangan pada waktu yang dipilihnya. Disini kita bisa melihat bahwa menunda konfrontasi hanya akan membuat konflik bertambah parah.

Tuhan, terima kasih ketika Engkau menegur aku melalui Firman-Mu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar