“Barangsiapa Kukasihi, ia
KUTEGOR DAN KUHAJAR; sebab itu relakanlah hatimu dan
bertobatlah!” (Wahyu 3:19)
Kita
hidup di dunia dimana konseling dan psikologi mengajar kita bersikap lemah
lembut terhadap orang lain dengan kesadaran bahwa kita mengalami suatu
penderitaan yang sama. Sebagai akbatnya, kita memandang perilaku salah orang
lain sebagai suatu penyakit, bukannya dosa. Dan memang benar bahwa kita semua
hingga tingkatan tertentu telah menjadi korban. Namun hasil pendekatan ini bisa
jadi keeangganan untuk mendengar teguran, sekalipun dari mulut Yesus sendiri.
Hanya sedikit orang ingin mendengar Allah berbicara keras kepada kita.
Faktanya, Yesus menegur mereka yang Dia kasihi, dan seringkali dengan keras.
Konfrontasi yang sejati dapat menghindarkan banyak sakit hati.
Pasukan
Angkatan Darat Jerman sedang menapaki bukit. Di bawah mereka terbentang sungai
Rhine, penuh dengan bongkahan salju yang mencair. Bahkan pada jarak ini pun,
kehadiran Jerman sudah melanggar Perjanjian Versailles 1918. Menaiki menara
tank, sang Komandan menghentikan barisan dan menatap ke kejauhan. Meriam-meriam
Perancis di sisi seberang tetap bungkam. Barisan bergerak perlahan,
mendengarkan bunyi artileri pertama. Tank-tank mengarungi batas air dan menyebar
tanpa insiden tidak bersedia mengawali peperangan, pihak Perancis tidak berbuat
apa-apa. Bertahun-tahun kemudian, setelah perang berakhir, barulah pihak Sekutu
mendapati adanya perintah rahasia dari Hitler agar pasukannya meyeberangi
sungai Rhine pada pagi hari di bulan Maret 1936 itu. Dia memberi tahu mereka
bila melihat tanda-tanda perlawanan Perancis dimulai, mereka harus mundur.
Kita
tidak pernah tahu pasti, tetapi mungkin kemanusiaan akan dapat mengubah
jalannya Perang Dunia II seandainya hari itu Perancis memberikan perlawanan.
Seandainya reputasi Hitler tercoreng, para jenderalnya mungkin tidak begitu
kooperatif dengannya. Jutaan nyawa mungkin dapat terselamatkan seandainya
Hitler mendapati di tahun 1936 itu negara-negara lain akan bertanggung jawab
atas pelanggaran perdamaian.
Para
pemimpin sekutu takut terhadap konflik bersenjata, tetapi mereka gagal untuk
menghindarinya. Dan tidak adanya tindakan di pihak mereka menjadikan keadaan
menjadi lebih buruk. Ketika itu baik orang-orang Jerman maupun para pemimpin
angkatan bersenjata mereka, sebenarnya tidak ada yang siap untuk berperang.
Perlawanan akan memaksa Hitler mundur. Pihak sekutu terlalu takut untuk
memeranginya, memberi Hitler peluang untuk menambah angkatan bersenjatanya.
Saat perang benar-benar pecah, kekuatan Hitler sudah jauh lebih kuat, dan dia
sanggup memulai peperangan pada waktu yang dipilihnya. Disini kita bisa melihat
bahwa menunda konfrontasi hanya akan membuat konflik bertambah parah.
Tuhan, terima kasih ketika Engkau menegur aku melalui
Firman-Mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar